Beritagosip.com – Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan niat membuka keran impor tanpa kuota dan tanpa persetujuan teknis (pertek). Dalam acara Sarasehan Ekonomi (8/4), ia menyebut sistem kuota hanya menguntungkan segelintir pemain besar.
“Enggak usah pakai kuota-kuota. Siapa mau impor, silakan! Mau impor apa saja, silakan!” tegasnya.
Namun, langkah ini menuai peringatan serius dari para ekonom. Menurut Syafruddin Karimi dari Universitas Andalas, kebijakan tersebut berpotensi menggulung sektor produksi dalam negeri jika tidak diimbangi dengan strategi pembangunan industri yang matang.
“Kalau ini diterapkan secara mendadak dan tanpa arah yang jelas, petani kehilangan pasar, UMKM terpukul, lapangan kerja bisa hilang. Ini bukan sekadar soal harga murah,” kata Syafruddin.
Ia mengingatkan, pembukaan impor tanpa kontrol bisa memperlebar defisit transaksi berjalan, menekan nilai tukar, dan memicu keresahan sosial.
Syafruddin menekankan pentingnya seleksi ketat terhadap komoditas. Impor bisa lebih fleksibel untuk produk non-strategis atau bahan baku industri. Tapi, untuk komoditas seperti beras, kedelai, dan produk padat karya—negara harus hadir melindungi.
“Kita butuh kebijakan yang berkeadilan dan pro rakyat, bukan sekadar ikut logika harga murah,” tambahnya.
Hal senada disampaikan Kepala Pusat Industri INDEF, Andry Satrio Nugroho. Menurutnya, membuka keran impor tanpa rem di tengah kondisi global yang penuh tekanan bisa jadi bencana besar.
“Kita sudah dihantam barang murah dari luar selama ini, terutama dari China. Kalau sekarang malah dibebaskan total, ini bisa jadi tsunami bagi industri lokal,” ujarnya.
Industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki jadi sektor paling rentan. Menurut Andry, gelombang PHK bisa makin membesar, dan daya beli masyarakat anjlok karena kehilangan penghasilan.
“Konsumsi rumah tangga itu nyawa ekonomi kita. Kalau hilang, ekonomi bisa masuk lingkaran setan: industri mati, investor kabur, impor makin liar,” jelasnya.
Tak hanya ancaman PHK, iklim investasi juga terancam. Andry menyebut investor akan berpikir ulang membangun pabrik jika pasar dalam negeri dikuasai produk murah dari luar.
“Lebih murah ekspor dari negaranya sendiri daripada produksi di sini. Akibatnya, kita bukan lagi basis produksi, tapi cuma jadi pasar,” kata Andry.
Menurutnya, impor masih dibutuhkan, tapi harus dibatasi untuk barang yang tidak bisa diproduksi lokal, seperti mesin pabrik atau komponen elektronik. Bukan untuk barang jadi yang bisa diproduksi dalam negeri.
“Kalau kita tidak selektif, kita buka pintu kehancuran sendiri. Ini saatnya pemerintah hati-hati, bukan ugal-ugalan,” tutupnya.