Beritagosip.com – Dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, diduga jauh lebih parah dibandingkan dengan skandal tambang PT Timah Tbk. Hal ini disampaikan oleh Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Menurut Fahmy, nilai kerugian negara yang ditimbulkan oleh tambang di Raja Ampat bisa mencapai lebih dari Rp300 triliun. Angka itu bahkan melampaui nilai kerusakan lingkungan yang terjadi dalam kasus PT Timah, yang diperkirakan mencapai Rp271 triliun.
“Apalagi ini untuk di Raja Ampat. Itu kan banyak flora dan fauna langka. Kalau punah, tidak bisa direklamasi. Tidak bisa didatangkan lagi ikan yang mati tadi. Maka kerugiannya sangat besar,” jelas Fahmy, Rabu (11/6).
Fahmy menilai, keuntungan ekonomi dari tambang nikel Raja Ampat tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Ia menekankan bahwa kerugian ekologis lebih sulit dipulihkan ketimbang kerugian finansial biasa.
Merujuk pada kasus PT Timah periode 2015–2022, hitungan ahli lingkungan menunjukkan kerusakan lingkungan senilai Rp271 triliun. Fahmy menegaskan, dalam konteks kerugian tambang Raja Ampat, angka tersebut sangat mungkin dilampaui.
“Kalau di Raja Ampat itu jauh lebih besar. Apalagi dengan keanekaragaman hayati yang tidak tergantikan,” tambahnya.
Meski Presiden Prabowo Subianto telah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari empat perusahaan, Fahmy menyatakan bahwa langkah tersebut belum cukup. Ia mendesak agar izin PT GAG Nikel juga ikut dicabut.
Menurut Fahmy, dalih bahwa PT GAG telah menerapkan reklamasi dan bahwa jarak lokasi tambang sejauh 40 kilometer dari pusat konservasi tidak dapat diterima. Ia menyebut limbah debu tambang nikel bisa terbawa angin hingga ratusan kilometer dan mengandung arsenik berbahaya.
“Kalau alasannya tidak ditutup karena jauh, saya kira itu tidak tepat. Yang lebih penting, PT GAG itu telah melanggar undang-undang,” tegas Fahmy.
Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU tersebut secara eksplisit melarang pertambangan di pulau-pulau dengan luas di bawah 2.000 kilometer persegi. Pulau Gag termasuk dalam kategori tersebut.
“Itu undang-undangnya jelas. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sudah mendukung. Jadi tidak boleh ada tambang di pulau kecil tanpa syarat apapun,” ujar Fahmy.
Fahmy mendesak agar pencabutan IUP tambang dilakukan menyeluruh demi menyelamatkan Raja Ampat dari krisis ekologi. Ia juga mendorong agar aparat penegak hukum turun tangan mengusut potensi pelanggaran hukum terkait penerbitan izin tambang.
“Jangan-jangan selama ini ada KKN. Ada kongkalikong sehingga izin bisa keluar. Kalau terbukti, harus ditindak secara pidana,” pungkasnya.
Sebelumnya, lima perusahaan diketahui memiliki IUP di Raja Ampat. Dua di antaranya, PT GAG Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP), mendapat izin dari pemerintah pusat. Tiga lainnya—PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham—mendapat izin dari pemerintah daerah.
Pemerintah di bawah Prabowo telah mencabut IUP dari empat perusahaan. Sementara itu, Bareskrim Polri melalui Direktorat Tindak Pidana Tertentu tengah menyelidiki potensi pelanggaran hukum dalam penerbitan izin-izin tersebut.
Brigjen Nunung Syaifuddin selaku Direktur Tipidter Bareskrim menyatakan bahwa penyelidikan sedang berjalan atas empat IUP yang telah dicabut. Hal ini menandai langkah awal menuju keadilan atas kerusakan ekologis yang menimpa kawasan konservasi laut kelas dunia tersebut.

Info terbaru di Whatsapp Channel