Krisis Harga Beras Jepang: Petani Tercekik, Pemerintah Tertekan

Beras Jepang

Beritagosip.com Kenaikan harga beras Jepang secara drastis memunculkan gejolak baru di tengah masyarakat dan dunia politik. Di balik sawah yang tampak damai, keresahan diam-diam melanda para petani dan konsumen. Pemerintah Jepang pun terpaksa membuka cadangan darurat, situasi ini terjadi menjelang pemilu Majelis Tinggi yang semakin memanas.

Sepanjang tahun lalu, harga beras Jepang eceran hampir dua kali lipat. Pada Mei 2025, harganya mencapai 4.285 yen atau sekitar Rp483 ribu untuk 5 kilogram. Meski sempat turun tipis, ketidakpuasan publik belum surut. Ketegangan terus meningkat, terutama di daerah-daerah penghasil beras utama seperti Niigata dan Akita.

Satoshi Yamazaki, seorang petani padi Jepang dari Niigata, menggambarkan situasi yang membebani. “Ada kesenjangan besar antara harga beras di toko dan harga yang kami terima. Kami tidak menikmati lonjakan harga ini,” ungkapnya. Yamazaki dikenal karena menanam 10% padinya secara organik dengan metode unik, menggunakan bebek untuk mengendalikan hama. Meski inovatif, margin keuntungannya tetap minim.

Menurutnya, ekspektasi masyarakat terhadap beras murah dan berkualitas tinggi adalah ilusi. “Saya harap ini jadi titik balik untuk memahami kerja keras di balik setiap butir beras,” ujarnya. Kondisi ini memperjelas bahwa krisis pertanian Jepang tak hanya berdampak ekonomi, tapi juga memunculkan ketimpangan sosial.

Tekanan politik pun meningkat. Pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba mulai menyalurkan cadangan beras nasional langsung ke pengecer, kebijakan yang lazimnya diterapkan saat terjadi bencana. Namun langkah ini menuai kritik. Oposisi dan warganet menyebut beras cadangan sebagai “beras tua”, bahkan ada yang membandingkannya dengan pakan ternak.

Menteri Pertanian, Shinjiro Koizumi, menekankan bahwa langkah ini bertujuan menstabilkan harga. “Kami tak bisa membiarkan rakyat menderita akibat inflasi bahan pokok,” tegasnya. Meski begitu, persepsi negatif masyarakat belum juga reda. Kondisi semakin rumit karena beberapa faktor lain seperti cuaca ekstrem, aksi penimbunan, hingga panic buying pasca peringatan gempa tahun lalu.

Selain itu, lonjakan jumlah wisatawan dan tingginya harga beras impor juga mendorong konsumsi beras lokal. Namun akar masalah tidak terletak di permukaan. Menurut para pengamat, penyebab utama krisis ini adalah kebijakan pemangkasan lahan pertanian padi yang sudah berlangsung sejak tahun 1971.

Toru Wakui, ketua kelompok tani di Akita, menyuarakan kekhawatiran yang mendalam. “Kami sudah memangkas sawah selama 55 tahun, ini menghancurkan pertanian Jepang,” katanya. Ia mendesak pemerintah membalik arah kebijakan dengan memperluas lahan tanam. Wakui juga mendorong dukungan terhadap generasi muda agar tertarik menekuni pertanian, melalui skema investasi rendah dengan dukungan sektor swasta.

Masalah struktural lainnya adalah fakta bahwa 80% petani padi di Jepang bekerja paruh waktu, sebagaimana dijelaskan oleh Kazunuki Oizumi, profesor emeritus Universitas Miyagi. Mereka mengandalkan lahan kecil dan pendapatan dari pekerjaan lain atau dana pensiun.

Popularitas PM Shigeru Ishiba pun terancam. Isu inflasi dan tekanan ekonomi menurunkan kepercayaan publik hanya beberapa minggu jelang pemilu. Isu pangan kini menjadi bahan kampanye paling sensitif.

Ishiba menyebut peningkatan produksi sebagai opsi utama, namun menekankan pentingnya menjaga ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani. Saat publik menunggu solusi nyata, arah kebijakan pertanian Jepang menjadi sorotan.

WhatsApp Channel Banner

Info terbaru di Whatsapp Channel

Kembali ke atas