Beritagosip.com – Setelah dianggap gagal dalam proyek Metaverse, Meta kini melakukan manuver besar: menggelontorkan Rp244 triliun demi menciptakan Superintelligence AI, bentuk kecerdasan buatan masa depan yang diyakini jauh melampaui kemampuan manusia.
Langkah ini dimulai dengan rencana akuisisi 49 persen saham Scale AI, startup yang dikenal sebagai penyedia data berkualitas tinggi untuk pelatihan AI. Scale AI, yang didirikan oleh Alexandr Wang dan Lucy Guo, selama ini dikenal sebagai mitra besar bagi Google, Microsoft, dan bahkan OpenAI.
Berbeda dari OpenAI atau Anthropic yang membangun model, Scale AI berfokus pada “bahan bakar” AI: data. Mereka mengolah teks, gambar, video, hingga sensor 3D, serta menyediakan layanan evaluasi melalui sistem SEAL (Safety, Evaluation, and Alignment Lab).
Langkah ini disebut-sebut bukan hanya investasi pasif. Alexandr Wang, yang juga miliarder muda berusia 24 tahun, dikabarkan akan masuk ke jajaran eksekutif Meta. Ini memperkuat sinyal bahwa Meta tengah membentuk arah baru pengembangan AI-nya, dengan ambisi melompati generasi narrow AI seperti ChatGPT dan Siri.
Apa Itu Superintelligence AI?
Berbeda dari AI yang kita kenal saat ini (seperti Google Assistant atau GPT), Superintelligence AI digambarkan sebagai sistem kecerdasan buatan yang mampu berpikir, mencipta, dan memecahkan masalah kompleks secara mandiri. Tingkat kecerdasannya melampaui manusia dalam segala hal.
Namun, para pakar menyebut teknologi seperti ini belum ada dan masih jauh dari kenyataan. Bahkan AI hari ini masih sering keliru menangani tugas sederhana.
Meski begitu, Meta optimis. CEO Mark Zuckerberg bahkan telah menyiapkan dana hingga Rp1.050 triliun tahun ini untuk infrastruktur AI. Ia menyebut tahun 2025 sebagai momentum krusial pengembangan AI.
Skala Ambisius dan Implikasi Global
Akuisisi Scale AI juga membawa dimensi geopolitik. Startup tersebut baru saja menandatangani kontrak dengan Departemen Pertahanan AS untuk membangun ThunderForge, sistem militer berbasis AI yang akan digunakan di Indo-Pasifik dan Eropa.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa teknologi AI makin dikendalikan oleh segelintir korporasi. Michael Wooldridge, profesor AI dari Oxford, menyebut langkah Meta ini sebagai bentuk upaya mengembalikan posisi setelah metaverse gagal total.
“Dunia butuh ‘CERN versi AI’, pusat kolaborasi terbuka dan transparan untuk menghindari dominasi segelintir perusahaan,” ujarnya.
Andrew Rogoyski dari University of Surrey menambahkan bahwa sekarang tengah terjadi “perburuan besar-besaran” terhadap talenta AI, dengan perusahaan teknologi berlomba menarik peneliti atau mengakuisisi startup muda.

Info terbaru di Whatsapp Channel